Popular Posts

Selasa, 02 Januari 2018

EKONOMI MIKRO ISLAM "Teori Produksi Islami"

 Latar Belakang
Al-Qur’an menggunakan konsep produksi barang dalam artian luas. Al-Qur’an menekankan manfaat dari barang yang diproduksi. Memproduksi suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memproduksi barang mewah secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif.
Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk menghasilkan barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak faktor produksi. Fungsi produksi menggambarkan hubungan antar jumlah input dengan output yang dapat dihasilkan dalam satu waktu periode tertentu. Dalam teori produksi memberikan penjelasan tentang perilaku produsen tentang perilaku produsen dalam memaksimalkan keuntungannya maupun mengoptimalkan efisiensi produksinya. Dimana Islam mengakui pemilikian pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk pemilikan alat produksi, akan tetapi hak tersebut tidak mutlak.

B.     Teori Produksi Islami
1.      Pengertian Produksi
Produksi adalah menambah kegunaan (nilai guna) suatu barang. Kegunaan suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih dari bentuk semula.[1] Dalam pengertian lain, produksi adalah sebuah proses yang terlahir di muka buni ini semenjak manusia menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia dan bumi.[2] Ada juga yang berpendapat bahwa produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen.
Fungsi produksi adalah hubungan antara jumlah input yang diperlukan dan jumlah output yang dapat dihasilkan. Fungsi produksi menentukan berapa besar output, dengan kandungan berkah tertentu, bisa diproduksi dengan input-input yang disuplai ke dalam proses produksi dan dengan jumlah modal/kapital yang tertentu. 
Produksi yang Islami menurut siddiqi (1992) adalah penyediaan barang dan jasa dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan dan kebijakan atau manfaat (mashlahah) bagi masyarakat. Dalam pandangannya, sepanjang produsen telah bertindak adil dan membawa kebijakan bagi masyarakat maka ia telah bertindak Islami.

2.      Produksi yang Diharamkan dalam Islam
Dalam pengertian sederhana, produksi berarti menghasilkan barang dan jasa. Menurut Ilmu Ekonomi, produksi adalah kegiatan menghasilkan barang maupun jasa atau kegiatan menambah nilai kegunaan dan manfaat suatu barang.[3]
Pengertian produksi dalam perspektif Islam yang dikemukakan oleh Qutub Abdus Salam Duaib adalah usaha mengeksploitasi sumber-sumber daya agar dapat menghasilkan manfaat ekonomi. Produksi dalam ekonomi Islam bertujuan untuk kemaslahatan individu dan kemaslahatan masyarakat secara berimbang. Manfaat produksi dalam ekonomi Islam yaitu tidak mengandung unsur mudharat bagi orang lain, dan melakukan ekonomi yang memiliki manfaat di dunia dan akhirat.[4]
Dari pengertian di atas, kegiatan produksi mempunyai tujuan :
a.       Menghasilkan barang atau jasa
b.      Meningkatkan nilai guna barang atau jasa
c.       Meningkatkan kemakmuran masyarakat
d.      Meningkatkan keuntungan
e.       Memperluas lapangan usaha
f.       Menjaga kesinambungan usaha perusahaan
Produksi yang diharamkan dalam Islam adalah apabila tidak memenuhi prinsip-prinsip yang ada dalam ekonomi Islam. Prinsip-prinsipnya antara lain:[5]
1.      Keadilan dan kesamaan dalam produksi Islami
Islam memiliki prinsip produksi yang adil dan wajar dalam sebuah bisnis dimana mereka dapat memperoleh kekayaan tanpa mengeksploitasi individu-individu lainnya atau merusak kemaslahatan. Sedangkan usaha yang tidak adil dan salah, sangat dicela. Usaha semacam ini dapat menimbulkan ketidakpuasan pada masyarakat dan akhirnya menyebabkan kehancuran. Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam bebas dari kesewenang-wenangan dan tidak ada eksploitasi model kapitalisme dan komunisme.
2.      Memenuhi takaran, ketepatan, kelugasan, dan kebenaran
Dalam produksi, barang pun tidak hanya menghasilkan barang tetapi harus sesuai dengan perbandingan antara harga barang yang ditawarkan dengan kuantitas yang diberikan. Takaran tersebut harus mencapai tingkat maslahah produksi yang sesuai, tidak melebih-lebihkan atau menguranginya. Karena hal tersebut dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Dalam Islam, hal tersebut harus ada pengawasan melalui kesadaran diri sendiri dan kepedulian terhadap orang yang membutuhkan, bukan hasrat untuk menginginkan sesuatu yang lebih.
3.      Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam Islam
Tidak mendekati hal-hal yang dalam ketentuan islam sudah pasti bahwa itu diharamkan baik pengelolaan, pembentukan, dan pelaksanaannya. Islam sudah memberikan batasan-batasan yang sesuai menyangkut berbagai hal, seperti pencampuran barang haram ke dalam barang produksi dan menggantikan bahan produksi halal dengan yang haram karena berbagai faktor pendukungnya. Semua itu dapat terjadi apabila pelaku-pelaku produksi barang tidak menempatkan dengan hati-hati.
Dalam Islam, akhlak juga merupakan hal yang paling penting untuk melakukan produksi. Meskipun ruang lingkup yang halal itu sangat luas, akan tetapi sebagian besar manusia sering dikalahkan oleh ketamakan dan kerakusan. Mereka tidak merasa cukup dengan yang banyak karena mereka mementingkan kebutuhan dan hawa nafsu tanpa melihat adanya suatu akibat yang akan merusak atau merugikan orang lain. Seorang produsen muslim harus memproduksi yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun masyarakat dan tetap dalam akhlak yang mulia.

3.      Produktivitas Dalam Islam
Produktivitas adalah kegiatan produksi sebagai perbandingan input dengan output. Menurut Herjanto, produktivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan bagaimana baiknya sumber daya diatur dan dimanfaatkan untuk mencapai hasil yang optimal.[6] Dalam Islam prinsip fundamental yang harus diperhatikan dalam produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi.
Mannan menyatakan “Dalam sistem produksi Islam konsep kesejahteraan ekonomi digunakan dengan cara yang lebih luas, konsep kesejahteraan Islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari hanya barang-barang berfaedah melalui pemanfaatan sumber-sumber daya secara maksimum baik manusia maupun benda demikian juga melalui ikut sertanya jumlah maksimum baik manusia maupun benda demikian juga melalui ikut sertanya jumlah maksimum orang dalam proses produksi”. Dari pernyataan Mannan di atas jelas menggambarkan aturan main produksi dalam Islam yakni selain produsen dapat mendapatkan laba yang diinginkan juga ada sebuah aturan bahwa barang yang diproduksi adalah barang yang benar-benar berfaedah dan sesuai dengan kebutuhan manusia sesuai dengan zamannya.[7]
Dalam Islam bekerja dinilai sebagai kebaikan dan dianggap sebagai ibadah, dan kemalasan dinilai sebagai keburukan. Bekerja mendapat tempat yang terhormat didalam Islam. Sebuah hadits menyebutkan bahwa bekerja adalah jihad fi sabilillah. Sabda Nabi Saw, “Siapa yang bekerja keras untuk mencari nafkah keluarganya, maka ia adalah mujahid fi Sabilillah.
Sedangkan Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan ukuran utamanya adalah nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut. Produksi dalam pandangannya harus mengacu pada nilai utility dan masih dalam bingkai nilai “halal” serta tidak membahayakan bagi diri seseorang ataupun sekelompok masyarakat.
Dasar pemikiran yang dibangun dalam paradigma berpikir aliran konvensional dalam berproduksi adalah memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan biaya yang pada dasarnya tidak melihat realita ekonomi yang prakteknya berdasarkan pada kecukupan akan kebutuhan dan market imperfection yang berasosiasi dengan imperfect information. Hasil dari pencapaian produksi yang dilakukan oleh perusahaan konvensional adalah keinginan untuk mendapatkan profit (keuntungan) yang maksimal dengan cost (biaya) yang sedikit.
Aspek produksi yang didasarkan pada ajaran Islam melihat bahwa proses produksi dapat menjangkau maknayang lebih luas, tidak hanya pencapaian aspek yang bersifat materi-keduniaan tetapi juga yang bersifat ruhani-keakhiratan. Dalam Al-Qur’an juga diterangkan tentang konsep produksi. Al-Qur’an menekankan manfaat dari barang yang diproduksi. Memproduksi suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan hidup manusia. Barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan bukannya untuk memproduksi barang mewah secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif. Hal ini ditegaskan Al-Qur'an yang tidak memperbolehkan produksi barang-barang mewah yang berlebihan dalam keadaan apapun.
Mengacu pada pemikiran As-Syatibi, bahwa kebutuhan dasar manusia harus mencakup lima hal, yaitu terjaganya kehidupan beragama (ad-din), terpeliharanya jiwa (an-nafs), terjaminnya berkreasi dan berpikir (al-‘aql), terpenuhinya kebutuhan materi (al-mal), dan keberlangsungan meneruskan keturunan (an-nasl).

4.      Motiv Berproduksi Dalam Islam
Kegiatan produksi dalam ilmu ekonomi diartikan sebagai kegiatan yang menciptakan  manfaat (utility) baik dimasa kini maupun dimasa mendatang. Dengan pengertian yang luas tersebut, kita memahami kegitan produksi  tidak terlepas dari keseharian manusia.
Isu penting yang kemudian berkembang menyertai motivasi produksi ini adalah masalah etika dan tanggung jawab sosial produsen. Keuntungan maksimal telah menjadi sebuah insentif yang teramat kuat bagi produsen untuk melaksanakan produksi. Akibatnya, motivasi untuk mencari keuntungan maksimal sering kali menyebabkan produsen mengabaikan etika dan tanggung jawab sosialnya. Segala hal perlu dilakukan untuk mencapai keuntungan yang setinggi-tingginya.[8]
Dalam pandangan ekonomi Islam, motivasi produsen semestinya sejalan dengan tujuan produksi dan tujuan kehidupan produsen itu sendiri. Jika tujuan produksi adalah menyediakan kebutuhan material dan spritual untuk menciptakan mashlahah, maka motivasi produsen tentu juga mencari mashlahah, dimana hal ini juga sejalan dengan tujuan kehidupan seorang muslim. Mencari keuntungan dalam produksi dan kegiatan bisnis memang tidak dilarang, sepanjang dalam bingkai tujuan dan hukum Islam.[9]

5.      Nilai-nilai Islam dalam Berproduksi
Upaya produsen untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, seluruh kegiatan produksi terkait pada tatanan nilai moral dan teknikal yang Islami, sebagaimana dalam kegiatan konsumsi. Metwally (1992) mengatakan, “perbedaan dari perusahaan-perusahaan non Islami tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya”.[10]
Nilai-nilai Islam yang relevan dengan produksi dikembangkan dari tiga nilai utama dalam ekonomi Islam, yatiu: khalifah, adil, dan takaful. Secara lebih rinci nilai-nilai Islam dalam produksi meliputi:
a.       Berwawasan jangka panjang, yaitu berorientasi pada tujuan akhirat.
b.      Menepati janji dan kontrak, baik dalam lingkup internal atau eksternal.
c.       Memenuhi takaran, ketepatan, kelugasan, dan kebenaran.
d.      Berpegang teguh pada kedisiplinan dan dinamis.
e.       Memuliakan prestasi atau produktivitas.
f.       Mendorong ukhuwah antar sesama pelaku ekonomi.
g.      Menghormati hak  milik induvidu.
h.      Mengikuti syarat sah dan rukun akad atau transaksi.
i.        Adil dalam bertrnsaksi.
j.        Memiliki wawasan sosial.
k.      Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam Islam.
Penerapan nilai-nilai Islam di atas dalam produksi tidak saja akan mendatangkan berkah. Kombinasi keuntungan dan berkah yang diperoleh oleh produsen merupakan satu  mashlahah yang akan memberi kontribusi bagi tercapainya falah. Dengan cara ini perolehan kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat.[10]

6.      Faktor-Faktor Produksi
a.    Faktor Produksi Alam
Alam merupakan salah atau faktor produksi yang sangat penting, bahkan bersamaan dengan tenaga kerja seringkali dianggap paling penting. Alam telah memberikan banyak faktor produksi, misalnya tanah dan segala zat yang ada didalamnya maupun di permukaannya, udara dan segala yang ada di angkasa, dan lain-lain. Tidaklah mengherankan kalau tokoh pemikir Barat pada abad ke 17, Sir William Pretty, mengatakan bahwa ‘tanah adalah ibu dari produksi, sementara tenaga kerja adalah ayahnya’ (Samuelson, 1989, h. 235). Alam telah menyediakan berbagai jenis barang atau zat yang secara langsung dapat dikonsumsi atau kemudian diproses dalam produksi sebagai bahan baku. Pada dasarnya alam merupakan faktor produksi yang bersifat asli, sebab merupakan anugerah Allah yang secara alamiah diberikan kepada manusia. Ia ada bukan karena dibuat oleh manusia, tetapi manusia sekedar mengeksplorasinya. Alam juga merupakan faktor produksi asal, sebab dari alamlah kemudian segala jenis kegiatan produksi berlangsung.
1)   Tanah
Tanah antara lain digunakan untuk lahan pertanian, perkebunan, medirikan pabrik atau perkantoran, jalan raya, dan keperluan lainnya. Tanah ada juga yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan benda tertentu. Misalnya, tanah dapat digunakan sebagai bahan baku pabrik batu bata dan genteng.
2)      Air
Air merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting bagi umat manusia. Selain untuk minum, mandi, atau memasak, air juga digunakan sebagai alat pembangkit tenaga listrik, sebagai sarana angkutan air, dan usaha perikanan. 
3)      Sinar Matahari
Sinar matahari dibutuhkan untuk keberlangsungan tumbuh-tumbuhan dan kehidupan manusia. Selain itu, sinar matahari juga digunakan sebagai sumber tenaga listrik.
4)      Udara
Udara digunakan untuk kincir angin, penyegar ruangan, sarana perhubungan udara, dan menunjang kesuburan tanah.
5)      Barang Tambang
Barang tambang seperti minyak, batubara, emas, intan, mineral, dan barang tambang lainnya sangat berguna bagi kehidupan manusia.
b.      Faktor Produksi Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan faktor produksi insani  yang secara langsung maupun tidak langsung menjalankan kegiatan produksi. Faktor produksi tenaga kerja juga dikategorikan sebagai faktor produksi asli. Dalam faktor produksi tenaga kerja, terkandung unsur fisik, pikiran, serta kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja. Oleh karena itu, tenaga kerja dapat dikelompokan berdasarkan kualitas (kemampuan dan keahlian) dan berdasarkan sifat kerjanya.
1)   Tenaga Kerja Menurut Kualitas
·         Tenaga Kerja Terdidik
Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memerlukan pendidikan tertentu sehingga memiliki keahlian di bidangnya, misalnya dokter, insinyur, akuntan, dan ahli hukum.
·         Tenaga Kerja Terampil
Tenaga kerja terampil adalah tenaga kerja yang memerlukan kursus atau latihan bidang-bidang keterampilan tertentu sehingga terampil di bidangnya. Misalnya tukang listrik, montir, tukang las, dan sopir.
·         Tenaga Kerja Tidak Terdidik Dan Tidak Terlatih
Sementara itu, tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih adalah tenaga kerja yang tidak membutuhkan pendidikan dan latihan dalam menjalankan pekerjaannya. Misalnya tukang sapu, pemulung, dan lain-lain.
2)  Tenaga Kerja Menurut Sifat Kerja
·         Tenaga Kerja Rohani
Tenaga kerja rohani adalah tenaga kerja yang menggunakan pikiran, rasa, dan karsa. Misalnya guru, editor, konsultan, dan pengacara.
·         Tenaga Kerja Jasmani
Sementara itu, tenaga kerja jasmani adalah tenaga kerja yang menggunakan kekuatan fisik dalam kegiatan produksi. Misalnya tukang las, pengayuh becak, dan sopir.
c.       Faktor Produksi Modal
Yang dimaksud dengan modal adalah barang-barang  atau peralatan yang dapat digunakan untuk melakukan proses produksi. Modal dapat digolongkan berdasarkan sumbernya, bentuknya, berdasarkan pemilikan, serta berdasarkan sifatnya.
1.      Pembagian Modal Atas Dasar Sumber
·      Modal sendiri adalah modal yang berasal dari dalam perusahaan  sendiri. Misalnya setoran dari pemilik perusahaan.
·      Modal asing adalah modal yang bersumber dari luar perusahaan. Misalnya modal yang berupa pinjaman bank.
2.      Pembagian Modal Atas Dasar Bentuk
Modal konkret adalah modal yang dapat dilihat secara nyata dalam proses produksi. Misalnya mesin, gedung, mobil, dan peralatan. Sedangkan yang dimaksud dengan modal abstrak adalah modal yang tidak memiliki bentuk nyata, tetapi mempunyai nilai bagi perusahaan. Misalnya hak paten, nama baik, dan hak merek.
3.      Pembagian Modal Atas Dasar Pemilikan
·         Modal Individu adalah modal yang sumbernya dari perorangan dan hasilnya menjadi sumber pendapatan bagi pemiliknya. Contohnya adalah rumah pribadi yang disewakan atau bunga tabungan di bank.
·         Sedangkan yang dimaksud dengan modal masyarakat adalah modal yang dimiliki oleh pemerintah dan digunakan untuk kepentingan umum dalam proses produksi. Contohnya adalah rumah sakit umum milik pemerintah, jalan, jembatan, atau pelabuhan.
4.      Pembagian Modal Menurut Sifat
·      Modal tetap adalah jenis modal yang dapat digunakan secara berulang-ulang. Misalnya mesin-mesin dan bangunan pabrik.
·      Sementara itu, yang dimaksud dengan modal lancar adalah modal yang habus digunakan dalam satu kali proses produksi. Misalnya, bahan-bahan baku. 
d.      Faktor Produksi Keahlian
Faktor produksi terakhir yang tidak kalah penting adalah keahlian (skill) atau faktor produksi kewirausahaan (entrepreneurship). Sebanyak dan sebagus apapun faktor produksi alam, tenaga kerja dan modal yang dipergunakan dalam proses produksi, jika dikelola dengan tidak baik, hasilnya tidak akan maksimal. Jadi, faktor produksi keahlian adalah keahlian atau keterampilan yang digunakan seseorang dalam mengkoordinir faktor-faktor produk untuk menghasilkan barang dan jasa. Dari uraian  sebelumnya kita dapat melihat bahwa benda produksi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor produksi. Dari penggabungan berbagai faktor produksi yang biasa disebut juga sebagai masukan (input), dihasilkan hasil produksi yang disebut keluaran (output). Kita ambil contoh sekarung tepung. Tepung merupakan bahan baku  yang manfaatnya baru terasa bila telah diubah menjadi roti, usaha pembuatan tepung menjadi roti merupakan kegiatan produksi. Tapi, tidaklah mudah mengubah bahan baku mejadi barang siap konsumsi untuk dapat melakukan kegiatan produksi seorang produsen membutuhkan faktor-faktor produksi.

C.    Kesimpulan
Secara teknis produksi adalah proses mentransformasi input menjadi output, tetapi definisi produksi dalam pandangan ekonomi jauh lebih luas. Kegiatan produksi dalam persfektif ekonomi Islam pada akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya, yaitu mengutamakan harkat manusia.
Tujuan kegiatan produksi adalah menyediakan barang dan jasa yang memberikan mashlahah maksimum bagi konsumen yang di wujudkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkat moderat, menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya, menyiapkan persediaan barang dan jasa di masa depan, serta memenuhi sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah.
Produsen dalam pandangan ekonomi Islam adalah mashlahah maximizer. Mencari keuntungan melalui produksi dan kegiatan bisnis lain memang tidak dilarang, sepanjang berada dalam bingkai tujuan dan hukum Islam.Mashlahah bagi produsen terdiri dari dua komponon, yaitu keuntungan dan keberkahan.
Seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang Islami, sebagimana juga dalam kegiatan konsumsi. Secara lebih rinci nilai-nilai ini misalnya adalah berwawasan jangka panjang, yaitu berorientasi pada tujuan akhirat.




















DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. 2004

A. Karim, Adiwarman Ekonomi Mikro Islami. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. 2007

Suprayitno, Eko. Ekonomi Mikro Perspektif Islam, Malang : UIN Malang Press, 2008

Subagiyo, Rokhmat. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta : Alim’s Publishing, 2016

Pusat Pengkajian dan  Pengembangan Ekonomi Islam. Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008




[1] Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2004), h. 225
[2]Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. 2007),h. 102
[3] Eko Suprayitno, Ekonomi Mikro Perspektif Islam, (Malang : UIN Malang Press, 2008) h. 157
[4] Rokhmat Subagiyo, Ekonomi Mikro Islam,( Jakarta : Alim’s Publishing, 2016) h. 63
[5] Eko Suprayitno, Ekonomi Mikro Perspektif Islam,.....h. 161-165
[6] Rokhmat Subagiyo, Ekonomi Mikro Islam,...... h.65
[7] Eko Suprayitno, Ekonomi Mikro Perspektif Islam,.....h. 178
[8] Pusat Pengkajian dan  Pengembangan Ekonomi Islam. Ekonomi Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008). h. 238
[9] Pusat Pengkajian dan  Pengembangan Ekonomi Islam,.... h.239
[10] Ibid,.... h. 253

Tidak ada komentar:

Posting Komentar